Cinta itu Buta?
Lagi jalan-jalan di mal, tiba-tiba berpapasan dengan perempuan cantik. Matanya melihat mataku, dan dia memberikan senyuman yang manis. Setelah dia lewat, tercium wangi harum rambutnya dan parfumnya. Sejak saat itu, saya nggak pernah melupakan wajah dan senyumannya, tidur juga nggak bisa, jantung rasanya berdebar-debar, dan selalu memikirkan dia. I think I am in love!
Wait a minute! It is not you talking, it is your hormones!
Pernahkan kita punya teman yang jatuh hati pada seseorang, padahal kita sudah tahu bahwa orang yang ia sukai sebetulnya bukan orang baik-baik, tipe pendua? Namun, karena teman kita sedang “mabuk” cinta, apapun yang kita katakan kepadanya, dia nggak percaya, bahkan bisa mengelak dengan kata-kata, “Ah . . . Dia nggak begitu kok orangnya.”
“Cinta itu buta!”
Katanya begitu, kalau kita nggak bisa mengartikannya secara tepat. Belum apa-apa, kita sudah salah kasih nama untuk hal yang sebetulnya berbeda. Yang buta bukan “cinta”. Cinta melihat dengan pengelihatan prima, maksimal, 100 persen. Apa yang cinta lihat? Semua hal yang baik bagi orang lain dan dirinya. Yang menderita kebutaan, bukan cinta, melainkan “jatuh cinta”. Apa bedanya?
Jatuh Cinta
Dalam proses evolusinya, manusia mengenal jatuh cinta. Pada laki-laki, proses ini dipengaruhi oleh hormon testosteron; sedangkan pada perempuan, hormon estrogen yang berperan. Hormon-hormon tersebut mendorong manusia untuk berprokreasi, yaitu mencari pasangan dan beranak cucu untuk menguasai bumi. Sedangkan saat kita nggak bisa tidur, jantung berdebar-debar, happy, lebih berani — seperti kisah di atas — itu semua adalah hasil dari aktifnya zat-zat bernama dopamin, serotonin, dan norepinefrin.
Perasaan jatuh cinta menjadi aktif khusus terhadap dorongan untuk prokreasi. Inilah sebab mengapa perasaan ini nggak timbul kepada teman, atau orang tua, atau kepada anak-anak sendiri, meskipun kita mencintai mereka dengan luar biasa. Memang jatuh cinta pada pasangan rasanya seperti ‘buta’, tapi ini bukan cinta. Ini hanya tahap sangat awal dari cinta itu sendiri, masih jauh dari arti kata “cinta” sebenarnya. Malah cinta yang sebenarnya belum tumbuh. Ibarat pohon, buahnya belum tumbuh, baru bunganya saja.
Jadi, kalau boleh dianalogikan, jatuh cinta terhadap cinta itu seperti bunga yang mendahului buah.
Mencintai vs Jatuh Cinta
Mencintai dan jatuh cinta itu berbeda. Dari kata-katanya saja, kita bisa melihat sifat yang berbeda. “Mencintai” ini kata kerja, bersifat aktif, melakukan tindakan. “Jatuh” cinta bersifat pasif, bukan karena pilihan, dan nggak bisa ditahan atau dibendung. Contoh mudah, nggak ada orang yang mau “jatuh” sakit. Sama halnya, “jatuh” cinta pun terjadi pada awal mula tanpa diduga, karena bertemu seseorang yang tampan, cantik, atau ramah.
Jatuh cinta sangat berdasarkan pada perasaan-perasaan dan ini nggak berlangsung seterusnya. Artinya, ada masanya perasaan-perasaan ini hilang. Jatuh cinta adalah sesuatu yang normal dan sama sekali nggak buruk, justru indah. Namun, dia (jatuh cinta) lemah. Inilah sebab kenapa jatuh cinta bukanlah dasar yang kuat untuk masuk ke dalam relasi yang serius, apalagi perkawinan. Perlu ada dasar yang lain yang bisa merekatkan relasi yang serius.
Mencintai, justru sebaliknya. Ia bersifat aktif. Artinya memilih untuk melakukan apa yang paling baik dan ideal bagi seseorang, bukan hanya berdasarkan perasaaan. Tentu perasaan-perasaan di atas akan sangat membantu seseorang untuk mencintai pada awal-awalnya. Namun, cinta yang sesungguhnya, apabila sudah matang, merupakan suatu komitmen, suatu pilihan yang rasional, bukan emosional. Dia mencintai dengan bebas (tanpa syarat, tanpa timbal balik, tanpa pamrih); total seutuhnya; setia; dan terbuka pada kehidupan, bukan mengarah pada kematian. Cinta yang sejati akan menggambarkan cinta Tuhan sendiri kepada kita manusia, yaitu cinta yang muncul dari kehendak bebas-Nya; total, sehingga berani memberikan bahkan nyawa-Nya; setia, nggak pernah meninggalkan kita; dan cinta yang selalu memberikan kehidupan.
Cinta tumbuh memerlukan waktu.
Justru saat perasaan berbunga-bunga habis, cinta mulai muncul. Hormon cinta berbeda dengan hormon yang bekerja pada masa-masa awal jatuh cinta. Hormon oksitosin dan vasopresin timbul dalam tubuh kita, membuat kita ingin tua bersama dengan pasangan kita, walaupun perasaan berbunga-bunga telah hilang. Ini yang sering disebut hormon “bodoh” — hormon yang membuat kita memaafkan pasangan kita ketika dia bersalah. Hormon ini juga dikeluarkan saat sepasang suami istri melakukan hubungan intim. (Catatan: hormon ini bikin pasangan yang sudah melakukan hubungan seksual pranikah jadi susah putus, karena merasa terikat. Salah satu alasan mengapa hubungan seksual paling tepat dilakukan hanya di dalam ikatan pernikahan.)
Pada fase mencintai, komitmen menjadi lebih penting daripada perasaan. Ini tandanya cinta sudah berbuah atau tumbuh. Jadi, kalau seseorang merasa, “Kok feeling gue ilang yah ke dia?“ bukan berarti cintanya hilang, tetapi justru masanya cinta itu bertumbuh dari fase yang dangkal menjadi yang lebih dalam.
Waktu ini terjadi, dan kita tidak lagi “buta”, waktunya untuk mempertanyakan dan mempertimbangkan segala sesuatu, misalnya apakah dialah pasangan yang kita mau untuk menjadi tua bersama?
Semua hal akan menjadi lebih jelas, keputusan kita bukan berdasarkan perasaan atau hormon semata, tetapi berdasarkan pertimbangan rasional yang baik, emosi yang stabil. Inilah cinta yang sesungguhnya. Kali ini, kita bisa melihat semuanya dengan jernih. Cinta itu tidak buta, kawan! Cinta itu melihat segalanya. Cinta itu bijaksana. Cinta itu pemberian diri.
” . . . I remember mama said,
You can’t hurry love
No, you just have to wait
She said love don’t come easy
It’s a game of give and take . . . ”
mencerahkan sekali… membuatku jd lebih mengerti:)
Luar biasa 👍👏. Terima Kasih Inspire
Pencerahan. Terima kasih
Enak memahaminya