Pelajaran Berharga dari Cewek Umur Belasan Tahun
“Ah, jangan gue deh. Yang lain aja. Gue nggak bisa.”
“Kasih gue tugas yang lain aja deh, yang nggak terlalu besar, daripada ntar semua rusak gara-gara gue.”
“Gue tau kemampuan gue, dan ini bukan bidang keahlian gue.”
Kalimat-kalimat seperti ini pasti sudah sering kita ucapin. Mari kita mengorek-orek isinya bersama Bunda Maria.
Rendah hati atau takut?
Banyak dari kita menganggap bahwa kalimat-kalimat itu kita ucapin karena kita ingin bersikap rendah hati. Isinya bagus. Mungkin juga ada benarnya. Tapi, kalau kita jujur, di balik topeng yang terdengar rendah hati itu sebenarnya ada ketakutan yang mau kita tutup-tutupin. “Lagian, gue kan masih terlalu muda … ” Itu yang sering kita katakan.
Kita bangga karena kita rendah hati dan tidak ingin terlalu terlihat, padahal sebenarnya kita takut akan sesuatu yang baru. Daripada mencoba, dan nanti gagal, dan diketawain orang, lebih baik pura-pura rendah hati, sehingga nggak perlu mencoba. Bahkan, kadang kita pakai ayat-ayat suci untuk jadi topeng kita. “Kan Yesus bilang, kalau ingin jadi yang pertama, jadilah yang terakhir. Jadi, jangan gue deh yang ngerjain tugas ini. Biar orang lain aja.” Garis batas antara rendah hati yang asli dan ketakutan bisa sangat tipis dan nggak kita sadari.
Terjebak dalam kenyamanan
Kalau dikorek lebih jauh, ketakutan yang paling besar itu adalah ketakutan kalau-kalau kita bakal kehilangan kenyamanan kita: Selama ini hidup gue tenang-tenang aja. Semua udah tersedia, mapan. Segalanya udah jadi rutinitas yang cocok sama jadwal dan kemampuan gue. Permintaan bantuan ke gue ini bisa ngerusak kenyamanan gue selama ini. Daripada kehilangan kenyamanan, daripada nanti semua musti gue atur ulang, daripada gue sendiri entar repot, lebih baik gue tolak aja.
Terjebak dalam kenyamanan, kita ambil topeng rendah hati. Biarin aja yang lain repot jungkir-balik, asal gue bisa tetap tenang. Bahkan kita bangga. Karena gue nolak, gue masih bisa doa tiap pagi. Really? Apa kita bener jujur? Perbedaan antara ketakutan akan perubahan dan kenyamanan mapan memang nggak terlihat.
Kalau bisa bilang enggak, kenapa harus bilang iya?
Propaganda di luar sana, lewat macem-macem bentuk self-help dan mereka yang mengaku sebagi motivator, sering bilang gini: “Katakan apa maumu. Belajarlah berkata tidak. Dengan demikian kamu akan bebas, tidak lagi diperbudak.” Mungkin ada benarnya. Orang yang tidak pernah berani berkata tidak, memang bisa menderita. Tapi, sering itu jadi topeng kita.
Kita jatuh ke ekstrem lain. Kita terus bilang “tidak”. Kata “tidak” jadi senjata ampuh kita, dengan alasan untuk menghormati martabat diri sendiri. Bahkan ada yang pakai ayat-ayat suci: “Gue nolak untuk ikut ngebantuin, karena gue mau mencintai diri gue seperti kata Yesus, cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri.” Gubrakkk.. Yang bener aja!
Nun jauh di sana, waktu itu..
Seorang perempuan muda belasan tahun, di kampung Nazaret tiba-tiba didatangi oleh malaikat Gabriel. Maria beralih dari ketakutan, menuju bentuk kerendahan hati yang jujur dan asli. Maria bersedia kehilangan segala kenyamanannya. Maria punya hak untuk berkata “tidak”, tetapi ia memilih untuk berkata “ya”.

Annunciazione, Leonardo da Vinci (1472–1475)
Dan itu semua dilakukan waktu Maria baru berusia belasan tahun.
Ah, seandainya saja ada Maria-Maria seperti ini di dunia kita saat ini.
SELAMAT HARI RAYA KABAR SUKACITA!